Kata ” galuh” memiliki
beberapa arti dan makna. Kata
”galuh” dipahami secara umum
berasal dari bahasa Sansekerta
yang berarti permata. Dalam
kehidupan kerajaan di Indonesia,
khususnya di Jawa, sebutan
“Galuh” biasa ditujukan pada pada
putri raja yang masih lajang, tetapi
sudah turut dalam pemerintahan.
Dalam budaya masyarakat
Galuh (Sunda), makna kata ”galuh”
identik dengan ”galeuh” , bagian
tengah (inti) pohon/kayu berwarna
kehitam-hitaman dan keras, bukan
galeuh yang berarti beli. Kata
”galuh” juga dipahami identik
dengan “galih ” (qolbu), sehingga
ada ungkapan dalam bahasa
Sunda, ”Galuh galeuhna
galih” (“Galuh intinya hati” atau
“inti hati adalah galuh”).
Ungkapan itu menunjukkan bahwa
kata ”galuh” memiliki makna
filosofis yang dalam.
W.J. van der Meulen S.J.
dalam bukunya berjudul Indonesia
di Ambang Sejarah (1988),
menyatakan kata ” galuh” berasal
dari kata “saka lo” (bahasa Tagalog)
yang berarti “dari sungai asalnya”
= air. Kata itu berubah menjadi
“segaluh/ sagaluh”.
w Ciamis
Secara etimologis (bahasa
Sunda), “ ciamis” berasal dari kata
“ci ” yang berarti air dan “amis ”
yang berarti manis. Dalam konteks
kesejarahan Galuh, sebutan
“Ciamis” bukan baru muncul pada
peristiwa perubahan nama
Kabupaten Galuh menjadi
Kabupaten Ciamis (diudangkan
dalam Staatsblad tahun 1915).
Sebutan “Ciamis” yang ditujukan
pada tempat/daerah sudah muncul
jauh sebelumnya.
Menurut sumber-sumber
tradisi, sebutan “ amis” dalam kata
“ciamis” yang ditujukan pada
tempat/daerah (Galuh), bukan
“amis ” dalam arti “manis”,
melainkan “ amis” dalam bahasa
Jawa yang berarti “ anyir ”. Hal itu
berkaitan dengan peristiwa
penyerangan pasukan Mataram ke
pussat Kerajaan Galuh (akhir abad
ke-16). Peristiwa itu mengakibatkan
“banjir darah” di daerah Galuh.
“Banjir darah” yang terhebat
terjadi di Ciancang (1739),
sehingga peristiwa itu disebut
“Bedah Ciancang”. Kata “amis ”
yang berarti “ anyir” dilontarkan
oleh pejabat Mataram yang
mengontrol ke daerah pusat
Kerajaan Galuh dan ditujukan pada
bau darah manusia. Berarti
sebutan “ciamis” yang dilontarkan
oleh pihak Mataram adalah
cemoohan atau hinaan .
Informasi itu beralasan
untuk dipercaya, karena bila kata
”ciamis ” dimunculkan oleh orang
Galuh (orang Sunda), tentu ”amis ”
yang dimaksud adalah rasa manis
atau amis yang bermakna baik.
Misal, ungkapan ” amis budi”, ”adu
manis” dan lain-lain. Tidak masuk
akal bila orang Galuh (orang
Sunda) memberi nama daerahnya
dengan nama yang memiliki arti
jelek. Sampai saat, saya belum
menemukan sumber akurat yang
memuat penjelasan lain mengenai
asal-usul dan pengertian kata
“ciamis” pada awal
kemunculannya.
Penjelasan tersebut
menunjukkan, bahwa asal-usul
nama Ciamis mengandung makna
yang jelek dan penghinaan
terhadap orang Galuh.
t
Sejarah Kerajaan Galuh (Ciamis)
Oleh A. Sobana Hardjasaputra
(Putera Galuh, sejarawan dan
pustakawan pada Fakultas Sastra
Unpad)
Pengantar
Daerah Galuh yang sekarang
bernama Ciamis memiliki
perjalanan sejarah sangat panjang.
Hal itu terbukti dari periodisasi
yang dilewatinya, yaitu masa pra-
sejarah, masa kerajaan (abad ke-8
– abad ke-16), masa kekuasaan
Mataram, kekuasaan Kompeni, dan
Belanda/Hindia Belanda (akhir
abad ke-16 – awal tahun 1942),
masa pendudukan Jepang (awal
tahun 1942 – 15 Agustus 1945),
dan masa kemerdekaan (17 Agustus
1945 – sekarang). Perjalanan
sejarah Galuh yang panjang itu
sampai sekarang masih belum
terungkap secara komprehensip,
bahkan beberapa bagian/episode
sejarah Galuh masih “gelap”.
Selain itu, sejarah Galuh masa
kerajaan masih banyak bercampur
dengan mitos atau legenda,
sehingga ceritera tentang Galuh
masa kerajaan pun terdapat
beberapa versi.
Belum adanya penulisan sejarah
Galuh yang komprehensip kiranya
disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, Pemda Kabupaten Ciamis
terkesan kurang menaruh
perhatian terhadap sejarah
daerahnya sendiri. Kedua,
kurangnya sejarawan yang
berminat untuk mengungkap
sejarah Galuh, antara lain karena
kegiatan itu memerlukan biaya
cukup besar untuk mencari dan
meneliti sumbernya. Sekalipun
sudah ada hasil penelitian sejarah
Galuh, tetapi uraiannya hanya
berupa garis besar mengenai aspek
atau kurun waktu tertentu.
Sejarah bukan hanya memiliki
fungsi informatif, tetapi juga fungsi
edukatif, bahkan sesungguhnya
memiliki fungsi pragmatik,
khususnya bagi pemda daerah
setempat. Hal itu disebabkan
sejarah adalah suatu proses
kausalitas yang ber-
kesinambungan. Kehidupan masa
kini adalah hasil kehidupan masa
lampau, dan kehidupan masa
mendatang akan tergantung dari
sikap kita dalam mengisi
kehidupan masa sekarang. Oleh
sebab itu kita harus pandai belajar
dari sejarah, karena sejarah adalah
“obor kebenaran” dan “obor” agar
kita tidak “pareumeun obor”.
Atas dasar hal tersebut, seyogyanya
bila Pemda Kabupaten Ciamis dan
“Wargi Galuh” menaruh perhatian
terhadap sejarah Galuh, antara lain
agar kita benar-benar memahami
bagaimana jati diri putera Galuh.
1. Asal-Usul dan Arti Kata Galuh
“Galuh” berasal dari kata
Sansakerta yang berarti sejenis
batu permata. Kata “galuh” juga
biasa digunakan sebagai sebutan
bagi ratu yang belum menikah
(“raja puteri”). Sejarawan W.J. van
der Meulen berpendapat bahwa
kata “galuh” berasal dari kata
“sakaloh” yang berarti “asalnya dari
sungai”. Ada pula pendapat yang
menyatakan, bahwa kata “galuh”
berasal dari kata “galeuh” dalam
arti inti atau bagian tengah
batang kayu yang paling keras.
Pengertian mana yang tepat dari
kata “galuh” untuk daerah yang
sekarang bernama Ciamis? Hal itu
memerlukan kajian secara khusus
dan mendalam.
2. Galuh Masa Kerajaan
Galuh memang pernah menjadi
sebuah kerajaan. Akan tetapi
ceritera tentang Kerajaan Galuh,
terutama pada bagian awal, penuh
dengan mitos. Hal itu disebabkan
ceritera itu berasal dari sumber
sekunder berupa naskah yang
ditulis jauh setelah Kerajaan Galuh
lenyap. Misalnya, Wawacan Sajarah
Galuh antara lain menceriterakan
bahwa Kerajaan Galuh berlokasi di
Lakbok dan pertama kali diperintah
oleh Ratu Galuh. Setelah banjir
besar yang dialami oleh Nabi Nuh
surut, pusat Kerajaan Galuh
pindah ke Karangkamulyan dan
nama kerajaan berganti menjadi
Bojonggaluh. Dikisahkan pula
putera Ratu Galuh, yaitu Ciung
Wanara berselisih dengan
saudaranya Hariang Banga.
Perselisihan itu berakhir dengan
permufakatan, bahwa kekuasaan
atas Pulau Jawa akan dibagi dua.
Ciung Wanara berkuasa di
Pajajaran dan Hariang Banga
menguasasi Majapahit. Selama
belum ada sumber atau fakta kuat
yang mendukungnya, kisah seperti
itu adalah mitos (Bagi guru
sejarah, ceritera yang bersifat mitos
boleh-boleh saja disampaikan
kepada para siswa, dengan catatan
harus benar-benar ditegaskan,
bahwa ceritera itu adalah mitos
yang kebenarannya sulit
dipertanggungjawabkan).
Ceritera tentang Kerajaan Galuh
yang dapat dipercaya adalah berita
dalam sumber primer berupa
prasasti, naskah sejaman (ditulis
pada jamannya atau tidak jauh
dari peristiwa yang
diceriterakannya), dan sumber lain
yang akurat. Menurut sumber-
sumber tersebut, Galuh sebagai
nama satu daerah di Jawa Barat—
Dalam Peta Pulau Jawa, kata
“galuh” digunakan pula menjadi
bagian nama atau bagian nama
beberapa tempat, seperti Galuh
(Purbalingga), Rajagaluh
(Majalengka), Sirah Galuh (Cilacap),
Galuh Timur (Bumiayu), Segaluh
dan Sungai Begaluh (Leksono),
Samigaluh (Purworejo), dan Hujung
(Ujung) Galuh di Jawa Timur)
muncul dalam panggung sejarah
pada abad ke-8. Setelah Kerajaan
Tarumanagara (abad ke-5 s.d.
abad ke-7) berakhir, di daerah
Jawa Barat berdiri Kerajaan Sunda
(abad. ke-8 s.d. abad ke-16). Pusat
kerajaan itu berpindah-pindah,
dari Galuh pindah ke Pakuan
Pajajaran/Bogor (± abad ke-11 s.d
abad ke-13), kemudian pindah lagi
ke Kawali (abad ke-14). Selanjutnya
kerajaan itu kembali berpusat di
Pakuan Pajajaran, sehingga lebih
dikenal dengan nama Kerajaan
Pajajaran.
Nama kerajaan seringkali berubah
dengan sebutan nama ibukotanya.
Oleh karena itu, tidak heran bila
ketika Kerajaan Sunda beribukota
di Galuh, kerajaan itu disebut juga
Kerajaan Galuh. Diduga pusat/
daerah inti Galuh waktu itu adalah
Imbanagara sekarang. Raja
terkenal yang berkuasa di Galuh
adalah Sanjaya. Ketika kerajaan itu
berpusat di Kawali (abad ke-14)
diperintah oleh Prabu Maharaja (di
kalangan masyarakat setempat, raja
ini dikenal dengan nama Maharaja
Kawali). Pada masa pemerintahan
raja itulah agama Islam masuk ke
Kawali dari Cirebon antara tahun
1528-1530.
Ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran
diperintah oleh Nusiya Mulya
(paruh kedua abad ke-16),
eksistensi kerajaan itu berakhir
akibat gerakan kekuatan Banten di
bawah pimpinan Maulana Yusuf
dalam rangka menyebarkan agama
Islam. Peristiwa itu terjadi tahun
1579/1580. Sejak itu Pakuan
Pajajaran berada di bawah
kekuasaan Banten.
Setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran
berakhir, Galuh berdiri sendiri
sebagai ke-rajaan merdeka
(1579/1580 – 1595). Sementara itu,
berdiri pula Kerajaan Sumedang
Larang (± 1580-1620) dengan
ibukota Kutamaya. Kerajaan Galuh
diperintah oleh Prabu (Maharaja)
Cipta Sanghiang di Galuh, putera
Prabu Haurkuning. Batas-batas
wilayah Kerajaan Galuh waktu itu
adalah : Sumedang batas sebelah
utara, Galunggung dan Sukapura
batas sebelah barat, Sungai
Cijulang batas sebelah selatan, dan
Sungai Citanduy batas sebelah
timur. Perlu disebutkan bahwa
daerah Majenang, Dayeuhluhur,
dan Pegadingan yang sekarang
masuk wilayah Jawa Tengah,
semula termasuk wilayah Galuh. Di
tempat-tempat tersebut sampai
sekarang pun masih terdapat
orang-orang berbahasa Sunda.
3. Galuh di bawah kekuasaan
Mataram
Di bawah kekuasaan Mataram,
daerah-daerah di Priangan yang
semula berstatus kerajaan berubah
menjadi kabupaten. Galuh berada
di bawah kekuasaan Mataram
antara tahun 1595-1705. Galuh
pertama kali jatuh ke dalam
kekuasaan Mataram, ketika
Mataram diperintah oleh
Sutawijaya alias Panembahan
Senopati (1586-1601). Oleh
penguasa Mataram, Galuh
dimasukkan ke dalam wilayah
administratif Cirebon. Setelah
Prabu Cipta Sanghiang di Galuh
meninggal, ia digantikan oleh
puteranya bernama Ujang Ngekel
bergelar Prabu Galuh Cipta
Permana (1610-1618),
berkedudukan di Garatengah
(daerah sekitar Cineam, sekarang
masuk wilayah Kabupaten
Tasikmalaya). Prabu Galuh Cipta
Permana yang telah masuk Islam
(semula beragama Hindu) menikah
dengan puteri Maharaja Kawali
bernama Tanduran di Anjung.
Selain Garatengah, di wilayah
Galuh terdapat pusat-pusat
kekuasaan, dikepalai oleh
seseorang yang ber-kedudukan
sebagai bupati dalam arti raja
kecil. Pusat-pusat kekuasaan itu
antara lain Cibatu, Utama
(Ciancang), Kertabumi (Bojong
Lopang), dan Imbanagara.
Mataram menguasai Galuh
kemudian Sumedang Larang (1620)
dalam usaha menjadikan Priangan
sebagai daerah pertahanan di
bagian barat dalam menghadapi
kemungkinan serangan pasukan
Banten dan Kompeni yang
berkedudukan di Batavia.
Kekuasaan Mataram di Galuh lebih
tampak ketika Mataram diperintah
oleh Sultan Agung (1613-1645) dan
Galuh diperintah oleh Adipati
Panaekan (1618-1625), putera
Prabu Galuh CiptaPermana, selaku
Bupati Wedana. Penguasaan
Mataram terhadap Galuh dan
Sumedang Larang sifatnya
berbeda. Galuh dikuasai oleh
Mataram melalui cara kekerasan,
karena pihak Galuh melakukan
perlawanan. Sebaliknya, Sumedang
Larang jatuh ke bawah kekuasaan
Mataram karena berserah diri,
antara lain karena adanya
hubungan keluarga antara Raden
Aria Suriadiwangsa penguasa
Sumdang Larang dengan penguasa
Mataram.
Tahun 1628 Mataram
merencanakan penyerangan
terhadap Kompeni di Batavia dan
meminta bantuan para kepala
daerah di Priangan. Ternyata
rencana itu me-nimbulkan
perbedaan pendapat yang
berujung menjadi perselisihan di
antara para kepada daerah di
Priangan. Dalam hal ini, Adipati
Panaekan berselisih dengan adik
iparnya, yaitu Dipati Kertabumi,
Bupati Bojonglopang, putera Prabu
Dimuntur. Dalam perselisihan itu
Adipati Panaekan terbunuh (1625).
Ia digantikan oleh puteranya
bernama Mas Dipati Imbanagara
yang berkedudukan di Garatengah
(Cineam). Pada masa pemerintahan
Dipati Imbanagara, ibukota
Kabupaten Galuh dipindahkan dari
Garatengah (Cineam) ke Calincing.
Tidak lama kemudian pindah lagi
ke Bendanegara (Panyingkiran).
Ketika pasukan Mataram
menyerang Batavia (1628), kepala
daerah di Priangan memberikan
bantuan. Pasukan Galuh dipimpin
oleh Bagus Sutapura, pasukan
Priangan dipimpin oleh Dipati
Ukur, Bupati Wedana Priangan.
Dipati Ukur memang mendapat
tugas khusus dari Sultan Agung
untuk mengusir Kompeni dari
Batavia. Ternyata Dipati Ukur gagal
melaksanakan tugasnya. Oleh
karena itu, ia memberontak
terhadap Mataram.
Pemberontakan Dipati Ukur yang
berlangsung lebih-kurang empat
tahun (1628-1632) merupakan
faktor penting yang mendorong
Sultan Agung tahun 1630-an
memecah wilayah Priangan di luar
Sumedang menjadi beberapa
kabupaten, termasuk Galuh.
Wilayah Galuh dipecah menjadi
beberapa pusat kekuasaan kecil,
yaitu Utama diperintah oleh
Sutamanggala, Imbanagara
diperintah oleh Adipati Jayanagara,
Bojong-lopang diperintah oleh
Dipati Kertabumi, dan Kawasen
diperintah oleh Bagus Sutapura.
Khusus kepala-kepala daerah yang
berjasa membantu menumpas
pemberontakan Dipati Ukur
diangkat oleh Sultan Agung
menjadi bupati di daerah masing-
masing. Tahun 1634 Bagus
Sutapura dikukuhkan menjadi
Bupati Kawasen—Kepala daerah
lain yang diangkat menjadi bupati
antara lain Ki Astamanggala
(Umbul Cihaurbeuti) menjadi
bupati Bandung dengan gelar
Tumenggung Wiraangunangun, Ki
Wirawangsa (Umbul Sukakerta)
menjadi bupati Sukapura dengan
gelar Tumenggung Wiradadaha,
dan Ki Somahita (Umbul
Sindangkasih) menjadi bupati
Parakanmuncang dengan gelar
Tumenggung Tanubaya.) (daerah
antara Banjarsari – Padaherang). Ia
memrintah Kawasen sampai
dengan 1653, kemudian digantikan
oleh puteranya bernama
Tumenggung Sutanangga
(1653-1676). Sementara itu, Dipati
Imbanagara yang dicurigai oleh
pihak Mataram berpihak kepada
Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati
(1636). Namun puteranya, yaitu
Adipati Jayanagara (Mas Bongsar)
diangkat menjadi Bupati
Garatengah. Imbanagara dijadikan
nama kabupaten dan Kawasen
digabungkan dengan Imbanagara.
Pertengahan tahun 1642 Adipati
Jayanagara memindahkan lagi
ibukota Kabupaten Galuh ke
Barunay (daerah Imbanagara
sekarang). Pemindahan ibukota
kabupaten yang terjadi tanggal 14
Mulud tahun He (12 Juni 1642—
Sejak tahun 1970-an, Pemda
Kabupaten Ciamis menganggap
tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari
Jadi Kabupaten Ciamis. Mengenai
Hari Jadi Ciamis, dibicarakan pada
akhir tulisan ini). itu dilandasi
oleh dua alasan. Pertama,
Garatengah dan Bendanegara
memberi kenangan buruk dengan
ter-bunuhnya Adipati Panaekan
dan Dipati Imbanagara. Kedua,
Barunay dianggap lebih cocok
menjadi pusat pemerintahan dan
akan membawa perkembangan bagi
kabupaten tersebut. Hal itu antara
lain ditunjukkan oleh masa
pemerintahan Adipati Jayanagara
yang berlangsung selama 42
tahun. Selama waktu itu, daerah-
daerah kekuasaan lain, yaitu
Kawasen, Kertabumi, Utama, Kawali,
dan Panjalu dihapuskan. Semua
daerah itu menjadi wilayah
Kabupaten Galuh. Dengan
demikian, Kabupaten Galuh
memiliki wilayah yang sangat luas,
yaitu dari Cijolang sampai ke
pantai selatan dan dari Citanduy
sampai perbatasan Sukapura.
Setelah Adipati Jayanagara
meninggal, kedudukannya sebagai
bupati digantikan oleh Anggapraja.
Akan tetapi tidak lama kemudian
jabatan itu diserahkan kepada
adiknya bernama Angganaya.
Sementara itu, daerah Utama
digabungkan dengan Bojonglopang,
dikepalai oleh Wirabaya. Dipati
Kertabumi yang semula
memerintah Bojonglopang,
dipindahkan ke Karawang dan
menjadi cikal-bakal bupati
Karawang.
Tahun 1645 setelah Sultan Agung
meninggal, Amangkurat I putera
Sultan Agung kembali melakukan
reorganisasi wilayah Priangan.
Wilayah itu dibagi menjadi
beberapa daerah ajeg (setarap
kabupaten), antara lain Sumedang,
Bandung, Parakan-muncang,
Sukapura, Imbanagara, Kawasen,
Galuh, dan Banjar.
4. Galuh di bawah kekuasaan
Kompeni (VOC/Verenigde Oost-
Indische Compagnie, yaitu
Perkumpulan Perseroan Belanda di
Hindia Timur)
Akhir tahun 1705 Galuh sebagai
bagian dari wilayah Priangan timur
diserahkan oleh penguasa Mataram
kepada Kompeni melalui perjanjian
tanggal 5 Oktober 1705. Wilayah
Priangan barat jatuh ke dalam
kekuasaan Kompeni lebih dahulu,
yaitu tahun 1677—Sejak tahun
1677 di wilayah Priangan
memberlakukan penanaman wajib,
terutama kopi dan nila (tarum)
dalam sistem yang disebut
Preangerstelsel). Mataram
menyerahkan Priangan kepada
Kompeni sebagai upah membantu
mengatasi kemelut perebutan
tahta Mataram—kompeni
membantu Pangeran Puger dalam
usaha merebut tahta Mataram dari
keponakannya, yaitu Amangkurat
III alias Sunan Mas). Namun
demikian, Galuh dan daerah
Priangan timur lainnya tetap
berada dalam wilayah administratif
Cirebon.
Sebelum terjadinya perjanjian 5
Oktober 1705, Kompeni sudah
mengangkat Sutadinata menjadi
Bupati Galuh (1693-1706)
menggantikan Angganaya yang
meninggal. Ia kemudian diganti
oleh Kusumadinata I (1706-1727).
Waktu itu Priangan berada di
bawah pengawasan langsung
Pangeran Aria Cirebon sebagai
wakil Kompeni.
Beberapa waktu kemudian, Bupati
Kawasen Sutanangga diganti oleh
Patih Ciamis yang dianggap orang
ningrat tertua dan terpandai di
Galuh. Daerah Utama digabungkan
dengan Bojonglopang.
Bupati Galuh berikutnya adalah
Kusumadinata II (1727-1732). Oleh
karena ia tidak memiliki putera,
maka setelah ia meninggal
kedudukannya digantikan oleh
keponakannya bernama Mas
Garuda, sekalipun keponakannya
itu belum dewasa. Oleh karena itu,
pemerintahan dijalankan oleh tiga
orang wali, seorang di antaranya
adalah ayah Mas Garuda sendiri,
yaitu Raden Jayabaya Patih
Imbanagara. Mas Garuda baru
memegang pemerintahan sendiri
mulai tahun 1751 hingga tahun
1801, dengan gelar Kusumadinata
III. Ia digantikan oleh Raden
Adipati Natadikusuma (1801-1806).
Pada masa peralihan kekuasaan
dari Kompeni kepada Pemerintah
Hindia Belanda, Kabupaten
Imbanagara dihapuskan. Daerah
itu digabungkan dengan Galuh dan
Utama. Ketiga daerah itu
diperintah oleh Bupati Galuh.
Menurut sumber tradisional
(Wawacan Sajarah Galuh), peristiwa
itu terjadi akibat konflik antara
Raden Adipati Natadikusuma
dengan seorang pejabat VOC yang
bersikap dan bertindak kasar.
Raden Adipati Natadikusuma
ditahan di Cirebon. Kedudukannya
sebagai Bupati Imbanagara diganti
oleh Surapraja dari Limbangan
(1806-1811).
Di bawah kekuasaan Kompeni,
sistem pemerintahan tradisional
yang dilakukan para bupati pada
dasarnya tidak diganggu. Hal itu
berlangsung pula pada masa
pemerintahan Hindia Belanda
(1808-1942).
5. Galuh Masa Pemerintahan
Hindia Belanda
Akhir Desember 1799 kekuasaan
Kompeni berakhir akibat VOC
bangkrut. Kekuasaan di Nusantara
diambilalih oleh Pemerintah Hindia
Belanda yang dimulai oleh
pemerintahan Gubernur Jenderal
H.W. Daendels (1808-1811). Di
bawah pemerintahan Hindia
Belanda, Galuh tetap berada
dalam wilayah administratif
Cirebon.
Pada akhir masa pemerintahan
Daendels, Bupati Imbanagara
Surapraja meninggal (1811). Bupati
Imbanagara selanjutnya dijabat
oleh Jayengpati Kertanegara,
merangkap sebagai Bupati Cibatu
(Ciamis). Setelah pensiun, ia
digantikan oleh Tumenggung
Natanagara. Penggantinya adalah
Pangeran Sutajaya asal Cirebon.
Oleh karena selalu berselisih
paham dengan patihnya, Pangeran
Sutajaya kembali ke Cirebon.
Jabatan Bupati Imbanagara
kembali dipegang oleh putera
Galuh, yaitu Wiradikusuma, dan
nama kabupaten ditetapkan
menjadi Kabupaten Galuh. Tahun
1815 Bupati Wiradikusuma
memindahkan ibukota kabupaten
dari Imbanara ke Ciamis.
Pada masa pemerintahan Bupati
Galuh berikutnya, yaitu Adipati
Adikusumah (1819-1839), putera
Bupati Wiradikusuma, Kawali dan
Panjalu dimasukkan ke dalam
wilayah Kabupaten Galuh. Bupati
Adipati Adikusumah menikah
dengan puteri Jayengpati (Bupati
Cibatu). Dari perkawinan itu
kemudian lahir seorang anak laki-
laki bernama Kusumadinata. Ia
kemudian menggantikan ayahnya
menjadi Bupati Galuh (1839-1886)
dengan gelar Tumenggung
Kusumadinata. Selanjutnya ia
berganti nama menjadi Raden
Adipati Aria Kusumadiningrat. Ia
adalah Bupati Galuh terkemuka
yang dikenal dengan julukan
“Kangjeng Prebu”.
Sejak tahun 1853, Bupati R.A.A.
Kusumadiningrat tinggal di Keraton
Sela-gangga yang dilengkapi oleh
sebuah masjid dan kolam air
mancur. Tahun 1872 di halaman
keraton dibangun tempat
pemandian yang disebut
Jambansari—Pemandian itu sering
digunakan oleh warga masyarakat
dengan maksud “ngalap berkah”
dari “Kangjeng Prebu”). Antara
tahun 1859-1877, dibangun
beberapa gedung di pusat kota
kabupaten (Ciamis). Gedung-
gedung dimaksud adalah gedung
kabupaten yang cukup megah (di
lokasi Gedung DRPD sekarang),
Masjid Agung, Kantor Asisten
Residen (gedung kabupaten
sekarang), tangsi militer, penjara,
kantor telepon, rumah kontrolir,
dan lain-lain.
Bupati R.A.A. Kusumadiningrat
sangat besar jasanya dalam
memajukan ke-hidupan rakyat
Kabupaten Galuh. Jasa-jasa itu
antara lain membuat sejumlah
irigasi, membuka sawah beribu-
ribu bau, mendirikan tiga buah
pabrik penggilingan kopi, membuka
perkebunan kelapa, membangun
jalan antara Kawali – Panjalu,
mendirikan “Sakola Sunda” di
Ciamis (1862) dan di Kawali (1876).
Atas jasa-jasa tersebut, ia
memperoleh tanda kehormatan
atau atribut kebesaran dari
Pemerintah Hindia Belanda berupa
Songsong Kuning (payung
kebesaran berwarna kuning mas)
tahun 1874) dan bintang Ridder in
de Orde van den Nederlandschen
Leeuw (“Bintang Leo”) tahun 1878).
Jabatan Bupati Galuh selanjutnya
diwariskan kepada puteranya, yaitu
R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914).
Pada masa pemerintahan bupati
ini, mulai tahun 1911 Ciamis
dilalui oleh jalan kereta api jalur
Bandung – Cilacap.via Ciawi-
Malangbong-Tasikmalaya. Pada
masa pemerintahan Bupati Galuh
berikutnya, yaitu Bupati R.T.A.
Sastrawinata (1914-1935),
Kabupaten Galuh dilepaskan dari
wilayah administratif Cirebon dan
masuk ke dalam wilayah
Keresidenan Priangan (tahun
1915). Nama Kabupaten diubah
menjadi Kabupaten Ciamis. Antara
tahun 1926-1942, Ciamis masuk ke
dalam Afdeeling Priangan Timur
bersama-sama dengan Tasikmalaya
dan Garut, dengan ibukota
afdeeling di kota Tasikmalaya.
6. Hari Jadi Kabupaten Ciamis
Telah dikemukakan, bahwa pada
masa pemerintahan Adipati
Jayanagara ibukota Kabupaten
Galuh dipindahkan ke Barunay
(daerah Imbanagara sekarang).
Peristiwa itu terjadi tanggal 14
Mulud tahun He atau tanggal 12
Juni 1642 Masehi. Sekarang
tanggal 12 Juni 1642 dipilih dan
ditetapkan oleh Pemda Kabupaten
Ciamis sebagai Hari Jadi
Kabupaten Ciamis. Alasan atau
dasar pertimbangannya adalah
kepindahan ibukota kabupaten itu
membawa perkembangan bagi
Kabupaten Galuh. Sejak itulah
Kabupaten Galuh mulai
menunjukkan perkembangan yang
berarti.
Tepatkah pemilihan tanggal
tersebut?
Bila dikaji secara objektif dan kritis,
menurut penulis, pemilihan
tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari
Jadi Kabupaten Ciamis atau Hari
Jadi Kabupaten Galuh sekalipun
adalah keliru atau kurang tepat.
Pertama, bagi orang yang tidak
memahami sejarah Galuh,
pemilihan tanggal tersebut akan
mengandung arti bahwa
Kabupaten Galuh berdiri pada
tanggal 12 Juni 1642, padahal jauh
sebelum tanggal itu Kabupaten
Galuh sudah berdiri. Kedua,
Kabupaten Galuh berubah
namanya menjadi Kabupaten
Ciamis terjadi pada dekade kedua
abad ke-20 (1915), setelah Galuh
dilepaskan dari wilayah
administratif Cirebon.
Atas dasar hal tersebut dan untuk
kebenaran sejarah, seyogyanya hari
jadi Kabupaten Ciamis dikaji ulang.
Menurut penulis, hari jadi
Kabupaten Ciamis seharusnya
mengacu pada momentum awal
berdirinya kabupaten itu, atau
mengacu pada tanggal perubahan
nama kabupaten dari Kabupaten
Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.
Semoga Bermanfaat
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Galuh Ciamis"
Posting Komentar